“Penghayatan dan Estetika itu penting”
Oleh: Bambang Setiawan
Staf Pengajar Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA Pelita Raya Jambi
Menulis sastra membutuhkan penghayatan dan wawasan
luas yang mengandung nilai estetika. Dalam buku Panduan Belajar Bahasa dan
Sastra Indonesia kelas X SMA dirincikan bahwa tujuan pembelajaran menulis
sastra adalah siswa menguasai teori dan penulisan sastra yang berkaitan dengan
unsur-unsur dan kaidah dalam penulisan sastra, teknik penulisan sastra, dan
estetika, serta siswa terampil menulis sastra. Penulisan sastra membutuhkan
penghayatan terhadap pengalaman yang ingin diekspresikan, dan memiliki wawasan yang
luas mengenai estetika.
Seringkali dalam pembelajaran menulis sastra siswa
mengalami kesulitan untuk menemukan ide, gagasan, untuk memulai menulis sastra,
baik itu puisi maupun cerpen. Padahal keterampilan menulis merupakan
keterampilan berbahasa yang sifatnya produktif, menghasilkan, memberikan, atau
menyampaikan. Artinya siswa sebagai subjek (penulis) menyampaikan informasi,
pikiran, perasaan kepada orang lain atau pembaca. Penulis fungsinya sebagai
komunikator dan pembaca sebagai komunikan.
Proses menulis sebagai proses perubahan bentuk pikiran
atau perasaan menjadi bentuk tulisan, dan mereka yang tidak bisa mengubah
bentuk pikiran, perasaan itu menjadi tulisan, berarti mereka tidak mampu
menulis. Menulis bukan hanya sekedar menggambar huruf, atau menyalin, menulis
sebagai aspek keterampilan berbahasa dalam mengemukakan pikiran, menyampaikan
perasaan melalui bahasa tulis. Menulis sastra bukan hanya cepatnya menulis
huruf-huruf, bukan hanya cepatnya menulis kata-kata, tetapi utamanya adalah
menyampaikan pokok-pokok pikiran, ide, gagasan, intuisi hati secara teratur
yang membutuhkan penghayatan dan mengandung nilai estetika.
Realita menggambarkan bahwa untuk menulis sastra
dibutuhkan latihan dan penghayatan serta pengalaman, karena dunia sastra adalah
dunia fiksi, dunia seolah-olah. Namun tidak menutup kemungkinan “dunia
seolah-olah” diolah dengan ide dan gagasan yang bersumber dari kisah nyata,
atau realita yang benar-benar terjadi, yang dikemas dalam bentuk tulisan
sastra. Untuk mencapai tingkat ketuntasan dalam pembelajaran menulis sastra,
siswa perlu dibekali dengan pengalaman dan kejujuran berekspresi. Dalam
penulisan ini, penulis sepakat dengan istilah “proses kreatif siswa”.
Penulis selaku guru bidang studi Bahasa dan Sastra
Indonesia dalam membimbing penulisan sastra, sebelum mengajarkan menulis
sastra, penulis melontarkan pertanyaan “Pernahkan Anda menulis puisi atau
cerita pendek (cerpen)?” Kedua, “Bila pernah menulis sastra, tentu Anda bisa
mengingat-ingat bagaimana proses menulisnya!.” Ketiga, “Bagaimana menemukan
ide, merenungkannya, dan menyusun kata-kata?.” Kegiatan untuk memulai proses
kreatif dapat dilakukan dengan beragam cara, yaitu membaca buku sastra, melihat
film, mendengar cerita, mengamati tingkah laku orang di lingkungan sekolah.
Seiring dengan perkembangan proses kreatif siswa dalam
menulis sastra, siswa perlu dibekali dengan kompetensi teori sastra. walaupun
dalam kompetensi dasar pembelajaran sastra pada bidang studi Bahasa dan Sastra
Indonesia sangat minim, tidak ada salahnya jika siswa sejak dari awal juga
diperkenalkan dengan teori sastra. Pendidikan sastra atau pembelajaran sastra
itu sangat penting dalam mengembangkan koginitif siswa. Siswa dituntut untuk
menghafalkan pengertian, definisi, atau klasifikasi tentang karya sastra dan
sejarah sastra. Namun, mereka tidak dibelajarkan secara langsung mengapresiasi
dan mengkritik karya sastra.
Sudah selayaknya siswa atau perserta didik
diperkenalkan dengan apresiasi sastra. Dalam hal ini, pembelajaran sastra
adalah pembelajaran yang mencoba untuk mengembangkan kompetensi apresiasi
sastra, kritik sastra, dan proses kreatif sastra. Kompetensi apresiasi yang
diasah dalam pendidikan ini adalah kemampuan menikmati dan menghargai karya
sastra. Dalam pembelajaran ini peserta didik, siswa diajak untuk langsung
membaca, memahami, menganalisis, serta menikamati karya sastra secara langsung.
Mereka berkenalan dengan sastra tidak melalui hafalan nama-nama judul karya
sastranya atau sinopsisnya, tetapi langsung berhadapan dengan hasil proses kreatifnya
atau karya sastranya.
Pada mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia bidang
sastra dalam kurikulum 2006, dan dalam pengembangan silabus serta rencana
pembelajaran disebutkan bahwa siswa mampu menghubungkan isi puisi dengan
realita sosial. Untuk mencapai kompetensi ini, siswa diajak untuk memahami dan
menikmati unsur-unsur karya sastra bukan melalui hafalan pengertiannya, tetapi
langsung dapat memahami sendiri melalui “berhadapan dan membaca langsung” karya
sastranya. Saat membahasa unsur ektrinsik karya sastra, mereka bisa langsung
berhadapan dan berbicara dengan sastrawan. Selanjutnya, siswa juga bisa diajak
untuk mengamati kenyataan sosial budaya yang diceritakan dalam karya sastra.
Dengan demikian, dalam pembelajaran sastra, siswa
tidak hanya diajak untuk memahami dan menganalisasi berdasarkan bukti nyata
yang ada di dalam karya sastra dan kenyataan yang ada di luar karya sastra,
tetapi juga diajak untuk mengembangkan sikap positif terhadap karya sastra.
pembelajaran seperti ini akan mengembankan kemampuan pikir, sikap, dan
keterampilan peserta didiknya. Selain itu, siswa perlu diajak untuk bisa
mengapresiasi karya sastra dengan berbagai pendekatan. Sebagai contoh, siswa
mampu mengapresiasi karya sastra dengan pendekatan historis, sosiologis, psikologis,
dan struktural.
Begitu juga dengan apresiasi sastra, siswa diajak
untuk memahami dan menilai karya sastra. Hal ini bertujuan agar siswa dapat
menentukan kualitas sastra, dan nilai karya sastra, seperti baik-buruk,
asli-tidaknya, bermutu-tidaknya dengan menggunakan pendekatan dan kriteria
tertentu. Siswa dibelajarkan untuk tidak hanya mencari kelemahan karya sastra,
tetapi juga mencari kekuatan karya sasta. Setelah siswa mampu mengapresiasi
karya sastra, siswa diajak untuk menulis proses kreatif dalam bentuk karya
sastra. Pembelajaran kreatif sastra mencoba membelajarkan siswa untuk mau dan
mampu menulis karya sastra. Memang ada yang berpendapat bahwa menjadi penulis
sastra itu bersifat individual. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya
kenyataan sulitnya mencari pengganti bagi sastrawan yang meninggal atau sudah
tidak berporeses kreatif lagi. Berbeda dengan seorang pemain sepak bola,
dokter, insinyur, ahli hukum, bila mereka meninggal dunia dengan segera cepat
bisa mencari gantinya.
Pendidikan dan pembelajaran sastra di sekolah
semestinya ditingkatkan melalui kegiatan ekstrakurikuler, jika porsi
pembelajaran pada jam efektif tidak mencukupi atau minim. Pembelajaran sastra
hendaknya mempertimbangkan keseimbangan pengembangan pribadi dan kecerdasan siswa.
Pembelajaran sastra sangat strategis digunakan untuk mengembangkan kompetensi
atau kecerdasan spiritual , emosional, bahasa, atau untuk mengembangkan
intelektual, dan kinestetika.
Kompetensi intelektual antara lain berupa kemampuan
berpikir, bernalar, kemampuan kreatif dan inovatif, kemampuan memecahkan
masalah, dan kemampuan mengambil keputusan strategis yang mendukung kehidupan
global. Kemampuan anak akan hal ini dapat diasah melalui pembelajaran sastra di
sekolah. Sedangkan kompetensi emosional adalah kompetensi utuk memahami diri
sendiri dan orang lain. Kompetensi kecerdasan bahasa antara lain berupa
kemahir-wacanaan, kemampuan menguasai sarna komunikasi mutakhir, kemampuan
menguasai suatu bahasa. Pembelajaran sastra hendaknya digunakan siswa sebagai salah
satu kecakapan untuk hidup dan belajar sepanjang hayat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar